MUHAMMADIYAH BERTANYA SURKATI MENJAWAB


PERTANYAAN-PERTANYAAN MUHAMMADIYAH

MUHAMMADIYAH BERTANYA

                                                                                       
   SURKATI MENJAWAB
 
Dipublikasikan oleh : www..Al-Irsyad.or.id

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Pimpinan Perhimpunan MUHAMMADIYAH kepada Assyeikh Ahmad Surkati adalah:

  1.     Apakah yang dinamakan “DIIN” itu?
  2.     Apakah arti”DUNIA”?
  3.    Apakah yang dimaksudkan dengan “SABIL  ALLAH”?
  4.     Apakah arti”QIAAS”?
  5.     Apakah arti”HARAJ”?

Perkataan “DIIN” dan “DUNIA” dalam bahasa Arab mengandung beberapa arti dan pengertian. Dari berbagai pengertian itu bisa diartikan secara umum dan bisa pula secara khusus. Arti yang sesungguhnya, dapat dimengerti dari susunan kalimatnya, seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadits.

Kata “DIIN” itu berasal dari kata “DAANA, YADIINU”, yang mengandung arti “KHADHO’A” (tunduk). Pun perkataan “DIIN” itu adakalalanya berarti: PEMBALASAN, seperti dalam firman Allah:

“maaliki yaumiddiin”, yakni (HARI PEMBALASAN atau hari saat semua orang harus tunduk secara mutlak). (QS. Al-Fatihah:4)

Begitu pula artinya dalam firman Allah:

Dan yang saya harapkan akan mengampuni dosa saya pada hari pembalasan” (QS. As-Syuaro:82)

Tak dapat tidak, pembalasan itu akan terjadi. (QS.Adzariyat  ayat:6)

Kadang-kadang  perkataan “DIIN” itu diartikan pula” IBADAH”, yakni mendekatkan diri kepada Allah menurut cara yang diperintahkan Allah. Yang paling penting di antaranya ialah “AQAAID” dan “IBADAH”, seperti dalam firman Allah:

Dan mereka tiada diperintah kecuali untuk menyembah Allah dengan mensucikan ibadah itu bagi-Nya dengan cara yang lurus.”

Adakalanya perkataan “DIIN” itu berarti “QAANUN SAMAWI” (Undang-Undang Ilaahi) yang harus dipatuhi setiap orang serta tunduk tanpa reserve dan berserah diri kepada-Nya dengan setulusnya, karena keyakinan yang teguh bahwa Allah tentulah lebih mengerti dan lebih bijaksana, dan bahwa apa yang Ia pilih buat manusia jauh lebih baik daripada pilihan manusia untuk diri mereka sendiri, jika sesungguhnya mereka beriman.

Dengan begitu, maka hal itu membawa mereka kepada kebahagiaan dunia akhirat, sebagaimana firman Allah:

“Dan Aku rela Islam sebagai agama untukmu.” (QS. Al-Maidah:3)

Mungkin sasaran inilah yang dituju oleh pertanyaan itu. Maka baiklah dijelaskan lebih luas lagi sebagai berikut: adapun yang menjadi batasnya adalah perintah-perintah dan larangan-larangan berikut bagian-bagiannya. Batas itu meliputi jumlah, cara dan waktunya, seperti Shalat, puasa, haji dan beberapa aturan hukum lainnya. Dapat juga dibatasi caranya saja dan tidak jumlahnya, seperti “nawafil” (hadiah,pemberian) dan “sedekah” yaitu ditentukan tidak boleh mengandung “riya” (sifat membanggakan diri). Ada juga yang tidak dibatasi jumlah dan caranya, selama masih termasuk dalam lingkungan aturan yang umum, seperti doa, menurut ilmu yang bermanfaat, berbuat kebaikan, mencari rizki yang halal, mengejar puncak kepandaian, begitu pula hukum-hukum beberapa aturan “jinayah” (kejahatan, criminal,pidana)  “muamalah”(tindakan atau perbuatan atau kegiatan yang bersangkutan dengan masalah kebendaan. Serta kepentingan yang “mursalah” (persoalan-persoalan yang tidak diatur dalam nash) yang boleh digunakan menurut waktu dan keadaan yang tepat.

Hal itu amat tergantung kepada orang-orang yang memegang tampuk pemerintahan, yang wajib memperhatikan kepentingan yang jelas bermanfaat untuk ummat dan bangsa, serta yang mungkin akan menuntun ummat itu kea rah kemenangan dalam perjuangan hidup ini.

Inilah sebabnya mengapa para imam telah mewajibkan para Qaadhi dan Mufti senantiasa harus menjadi MUJTAHID (pelaksana atau yang melakukan ijtihad, orang yang melakukan kegiatan dan penelitian untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum tentang berbagai masalah dari sumber-sumbernya yang pokok (Al-Qur’an dan Hadits), agar mereka selalu mampu menyesuaikan hukum-hukum yang menyangkut soal-soal kemasyarakatan yang tidak terbatas menurut kepentingan ummat Islam yang menjadi tanggung jawabnya serta menjadi tanggung jawabnya pula kemenangan dan kesejahteraan ummat itu dari ummat lainnya.

Telah dijelaskan di atas arti perkataan “DIIN” dan “DUNIA” menurut anggapan Syari’ pada umum dan khususnya dari berbagai segi dan pengertian. Tidaklah keliru kiranya apabila kita nyatakan bahwa seluruh perintah “DIIN” (AGAMA) termasuk seumumnya urusan “DUNIA” apabila diteliti arti yang sesungguhnya, sehingga bagi  yang melaksanakannya itu akan memperoleh pahala di DUNIA sebelum akhirat, seperti misalnya sehat jasmani, kesejahteraan hidup, kemuliaan dan lain-lain.

Janji yang Allah berikan kepada orang-orang yang bertaqwa, bahwa bagi yang menuruti perintah-perintah Allah kelak di akhirat akan diberi kesenangan dan diampuni dosa-dosa mereka, adalah semata-mata karena Rahmat Allah Subhanahu wata’ala.

Sebaliknya, pun semua urusan DUNIA termasuk di dalam urusan DIIN, apabila mau kita teliti bahwa DIIN itulah yang menjelaskan dan menetapkan batas-batas yang baik dan yang buruk.

Karena Pemerintah negeri ini bukanlah Pemerintah Islam, sehingga hukum-hukum Agama, perintah-perintah dan larangan-larangan-nya tidak dianjurkan dan dilaksanakan, serta tidak pula ditentukannya batas seseorang di dalam soal-soal kemasyarakatan, maka wajiblah bagi kaum Muslimin untuk berpegang teguh kepada azas yang pertama, yaitu meniti perjalanan yang dapat menuntun mereka kepada kebahagiaan dan kemuliaan di dalam perjuangan hidup serta member kekuatan dan keteguhan kepada mereka.

Hal ini tidaklah sulit untuk dipahami setiap orang, kecuali apabila mereka dihinggapi penyakit “ Takliid” (melakukan sesuatu menurut apa kata orang tanpa pengertian dan penyelidikan serta alas an yang pasti) yang membabi-buta, penyakit  “Ta’assub” (kefanatikan) yang buruk dan penyakit suka mementingkan diri sendiri atau individualism yang berkelebihan.

Firman Allah:

Kisah-kisah itu bukanlah cerita dusta, melainkan menguatkan apa yang telah diturunkan sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf:111)

Perkataan “KULLI SYAI-IN” (segala sesuatu) di sini adalah NAU’II atau kata jenis), sebagaimana tampak jelas dari susunan kalimatnya. Maksud dari perkataan itu adalah: Segala sesuatu yang petunjuk-petunjuknya amat di butuhkan manusia walaupun daya fikir mereka sendiri belum sampai ke situ. Segala sesuatu yang rasional, yang bisa diterima oleh akal fikiran manusia).

Ada sebuah kejajdian, yaitu pada suatu hari Surkati didatangi beberapa orang mahasiswa. Mereka antara lain mengajukan pertanyaan yang cukup ganjil sebagai berikut:

“Katanya Tuhan mampu mengerjakan segala sesuatu. Sekarang Kami ingin bertanya, mampukah Tuhan memasukkan meja tulis ini ke dalam botol itu?”

Dengan tenang Surkati bertanya kepada mereka: “Dalil apakah yang kalian pakai dalam menyatakan bahwa Tuhan mampu mengerjakan segala sesuatu itu?”

“Innallahaana ‘alaa kulli syai-in qadiir”, jawab mereka.

“Mengertikah kalian bahasa Arab?”

“Mengerti” (jawab mahasiswa)

“Kulli syai-in itu, bagaimana terjemahannya menurut kalian?”

“Segala sesuatu!”

“Salah! Kalian kurang memahami betul bahasa Arab! Kulli syai-in terjemahannya yang tepat adalah “segala sesuatu yang masuk di akal, yang rasional.” Sekarang saya bertanya, masukkah di akal kalian kalau meja tulis yang sebesar ini akan dapat dimasukkan ke dalam botol yang sekecil itu?”

“Tidak!”

“Nah”, kata Surkati tandas, “Karena itu tidak akan dikerjakan Tuhan!”

Para mahasiswa itu menyatakan kepuasan mereka, sambil tidak lupa menyatakan bahwa mereka senantiasa menerima dampratan ketika mengajukan pertanyaan demikian kepada ulama lain. Kepada mereka Surkati menasihati, janganlah suka mengada-ada, karena perbuatan itu bisa mesenyatkan. Dengan akal kita sendiri masalah seperti itu sudah bisa kita pecahkan, mengapa pula harus diada-adakan.

Tidak diberikan keterangan tentang apa yang dibutuhkan manusia untuk memperbaiki hajat hidup di dunia dan di akhirat, karena untuk keperluan itulah rasul-rasul diutus.

Sekali-kali bukanlah maksudnya bahwa di dalam Kitab Suci diberikan keterangan selengkapnya tentang berbagai ilmu, seperti ilmu pertukaran, cara membuat perabot dari besi, ilmu kimia dan lain-lain, sebab bukanlah untuk tujuan dan maksud itu para nabi dan rasul diutus. Ilmu-ilmu itu akan bisa dimengerti setiap orang dengan mempergunakan akal dan pikirannya.

Maka yang dimaksud dengan “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINAKUM” adalah “Kami himpunkan di dalamnya segala petunjuk, segala aturan dan cara yang dapat membawa setiap orang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat bagi mereka yang menggunakannya dan menempatkannya pada tempatnya yang betul”.

Dan itulah serta di situlah makna ISLAM, karena firman Allah : “WARADHITULAKUMMUL ISLAAMA DIINA” itu maksudnya : Dan telah aku relakan bagimu ISLAM ini yang telah Aku sempurnakan dan yang telah Kucukupkan pula nikmat-Ku untukmu sebagai agamamu. Kami relakan ISLAM itu menjadi sebagai DIIN (agama) bagimu, yang kamu pegang teguh dan tunduk kepada perintah-perintah dan jauhi segala larangannya.

Terkadang memang pada anggapan Syar’I perkataan DUNIA itu dimaksudkan sebagai: segala masalah yang bukan merupakan beban para Rasul yang diutus. Segala masalah itu, baik dan buruknya, dapat dipecahkan sendiri oleh setiap orang dengan mempergunakan akal dan fikirannya serta dengan melaksanakan berbagai eksperimen. Seperti misalnya masalah bercocok-tanam, pertukangan dan sebagainya. Demikian pula masalah-masalah lain yang mubah yang dapat membentuk keindahan serta tidak sampai melampaui batas dan tidak pula termasuk lingkungan “tabdziir” seperti ternyata dari sabda Nabi Muhammad SAW.

Sabda Nabi Muhammad SAW:

“Kalian lebih mengetahui perihal urusan dunia kalian”

Adakalanya pula perkataan “DUNIA” itu menjadi sifat bagi sesuatu yang abstrak maupun tidak, seperti dalam firman Allah:

Hanya saja kamu lebih mengutamakan penghidupan dunia” (QS. Al-A’la:16)

 

Adapun yang dimaksud dengan perkataan “SABIIL ALLAH” ialah tiap perjalanan yang bisa menghantar kita kepada ridha Allah dan tiap perbuatan yang diperkenankan dengan jelas dan gambling atau termasuk dalam lingkungan aturan-aturan DIIN yang umum, dengan tujuan untuk mempertinggi asma Allah, asalkan sesuai dengan petunjuk-petunjuk dan pesan pesan Allah, yaitu melakukan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang jahat, baik untuk diri sendiri, untuk masyarakat dan ummat ataupun untuk agama kita. Hal ini bisa kita buktikan dari ayat-ayat Al-Qur’an, seperti :

Dan belanjakanlah harta bendamu untuk SABIIL ALLAH”

Sesuatu perbuatan jahat yang bertentangan dengan perintah Allah dan bertentangan dengan kepentingan bangsa, tidak dapat dianggap baik dengan dalih bahwa niatnya baik, sebagaimana dengan keliru disangka oleh sementara orang.

Adapun mengenai “QIAAS” maka, menurut artinya, adalah suatu soal yang ma’qul, yang rasional, yang dapat dimiliki oleh setiap orang yang mampu berfikir. Sesuatu perbuatan dan tindakan tidak bisa menjadi lurus jika tidak dengan itu. Buah fikiran dan pertimbangan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Inilah yang mewajibkan Hakim, Mufti dan Qaadhi untuk memiliki pengertian yang sempurna tentang itu, begitu juga bagi tiap orang yang menjadi pemimpin masyarakat muslimin. Tanpa pengertian mengenai ini, tanpa memiliki pengertian ini, maka ummat menjadi kacau-balau serta mengalami keterbelakangan.

Beberapa ahli fiqih seringkali menggunakan “QIAAS TAMTSIIL” yaitu penetapan hukum sesuatu dengan mempergunakan sumber hukum terdahulu yang sudah ada nash hukumnya menurut syara’ dengan dalih bahwa antara kedua soal hukum itu terdapat kesesuaian illah-Nya(sebab hukumnya)

Dapat ditegaskan di sini bahwa apabila terdapat kesesuaian (mumaatsalah) antara yang dijadikan QIAAS dengan yang di QIAASkan di dalam sifat “WIHDAH” yang delapan, sedangkan ‘illah yang mengkaitkan kedua soal itu tentu saja sama. Akan tetapi apabila tidak demikian halnya, maka hal it termasuk dalam lingkungan “ZHANNII”, yaitu dugaan atau perkiraan, bukan “YAQIINII”. Yang demikian itu perlu terlebih dahulu diselidiki dan ditelaah kepentingannya yang lebih jelas lagi menurut waktu, tempat dan keadaan serta penyesuaian yang tepat. Asasinya dalam hal ini terletak karena masalahnya menyangkut kepentingan bangsa dan ummat, kekuatan dan kemuliaanya dalam perjuangan hidup dan kehidupan.

Adapun “ALHARAJ” pengertiannya ialah keberatan menjalankan sessuatu perkara, sehingga menimbulkan kesempitan di dalam diri dan menjadi sebab seseorang tidak menjalankan perintah hingga karena itu ia mendapat siksaan.

Perintah-perintah Agama Islam dalam rupanya (shuurah) dan dalam aturan-aturannya (‘awaaridh) sesungguhnya suci dari hal itu. Hendaknya dapatlah diperhatikan perintah yang paling penting, paling besar artinya dan paling berat, yang di tujukan kepada orang-orang yang tidak memiliki sifat khusyu,’ yaitu sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-Nya:

Sesungguhnya hal itu memang berat, kecuali bagi mereka yang khusyu’, yang percaya bahwa sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka dan bahwa kepadaNyalah mereka akan kembali.” (QS.Al-Baqoroh:45-46)

Perkataan “ZHAN” di dalam ayat ini berarti YAQIIN, sebab begitulah memang salah satu dari sekian arti perkataan itu.

Cobalah diteliti hal-hal beikut ini:

Shalat itu merupakan satu olahraga yang dapat memlihara kesehatan jasmani, apabila orang melaksanakannya secara teratur dan terus menerus setelah membersihkan dirinya dari segala kotoran dan najis sehingga badan menjadi suci daripada kuman dan kotoran yang berbahaya. Selain itu shalat juga merupakan olahraga rohani jika dilaksanakan menuruti segala persyaratannya. Salah satu di antaranya yang paling penting adalah KHUSYU dan kesucian yang sempurna, jauh dari syirik atau bersekutu selain kepada Allah.

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang Mu’min yang khusyu dalam shalat mereka. (QS. Al-Mu’minun:1-2)

Tentu saja yang dimaksud dengan shalat itu bukanlah bentuk dan rupanya, karena shalat yang dapat mencegah seseorang daripada perbuatan keji dan mungkar itu ialah shalat yang disertai sikap khusyu’, sifat tunduk, suci dan bebas dari kekotoran jasmani dan rohani, yang karena semua itu diumpamakan sebagai orang yang sedang berbicara dengan Allah, seperti Sabda Nabi Muhammad SAW. “Orangyang yang menunaikan shalat itu berbicara kepada Tuhaannya.”

Dan sudah barang tentu orang yang berhadapan dengan Tuhannya lima kalil sehari, dengan sikap khusyu’, dengan meyakini janji dan ancaman-Nya, ingat akan keluhuran dan kebesaran-Nya, tidaklah mungkin akan mampu melakukan perbuatan keji dan mungkar pada hari itu.

Sedangkan rupa dan bentuk shalat yang tidak disertai sikap khusyu’, malah disertai riyaa’ atau sikap ingin dipuji orang lain, atau melulu meniru orang lain dalam berdiri dan duduknya saja, bukan karena sungguh-sungguh taat kepada Allah, maka shalat serupa itu tidaklah mungkin akan mampu mencegah seseorang dari pada perbuatan yang keji dan mungkar.

Maka barangsiapa mempunyai iman yang sempurna dan telah mengerti bahwa shalat itu dapat membawa kesehatan dan kekuatan bagi jasmani dan rohaninya, mengerti pula bahwa dengan itu seolah-olah ia berbicara sendiri dengan Allah dan hal itu dapat pula memberikan kesenangan bagi dirinya dan masyarakatnya di dunia dan di akhirat, maka tentulah kewajiban itu akan terasa ringan baginya dan tidak dipandang berat. Sedikitpun juga “HARAJ” tak akan dirasakannya, bahkan akan timbul rasa senang dan bahagianya saat ia berbicara (munajaat) kepada Allah, sebagaimana dinyatakan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW:  “Yang paling saya cintai dan menjadi kesenangan saya ialah melakukan shalat

Walaupun demikian, Allah telah memberikan keringanan pula dengan menjadikan shalat itu hanya dua rakaat saja pada saat bepergian jauh dan di perkenankan pula untuk orang menjama’ dua dalam satu waktu. Pun Allah telah member perkenan bagi mereka yang merasa berat untuk melaksanakan shalat sambil duduk, berbaring atau dengan isyarat apabila cara lainnya tidak dapat dilakukannya. Pun diperkenankan orang bertayammum jika tidak terdapat air atau jika timbul rasa waswas menggunakannya atau berbahaya mengambil air itu. Diizinkan pula mengusap (masah) sepatu (khuffain), sebagaimana diperkenankan mendirikan shalat dengan memakai “na’al” (terompah), satu baju serta di mana saja datangnya waktu untuk shalat.

Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita saksikan, bahwa apabila seorang pembesar memanggil bawahannya dan berbincang-bincang dengannya, maka yang dipanggil itu pastilah merasa bangga dan bahagia sekali memperoleh kesempatan seperti itu. Kalau dapat ingin rasanya ia memperpanjang kesempatan itu, karena ia merasa bahwa atasannya itu saying kepadanya.

Dari keterangan-keterangan yang diuraikan di atas itu nyatalah bahwa ijtihad di dalam pemecahan hukum-hukum kemasyarakatan dan perjuangan hidup, begitu pula perbandingannya dengan kepentingan bangsa menurut waktu, tempat dan keadaan, adalah tergolong dalam perintah-perintah Agama. Dan ini pun menjadi satu-satu hal yang oleh karenanya Allah melengkapkan Agama dan melengkapkan pula nikmat-Nya bagi orang-orang yang berpegang teguh kepada perintah-perintah-Nya itu.

Inilah nasakh yang tidak mutlak, melainkan nasakh buat sesuatu hukum saja, karena tiada lagi sebabnya baik mutlak maupun buat sementara waktu, baik mengenai jumlah maupun caranya. Dan segala yang disangka mansukh dalam Al-Qur’an sebenarnya termasuk dalam lingkungan ini.

Ada kalanya sesuatu yang mansukh dalam satu waktu, pada waktu yang lain bisa pula menjadi nasikh, jika keadaan menuntut yang demikian itu. Firman Allah:

Maka sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hambaKu, yang mendengar suatu perkataan dan menuruti yang terbaik daripadanya. Merekalah orang-orang yang memperoleh hidayah dari Allah dan merekalah orang-orang yang berfikiran.” (QS. Az-Zumar: 17-18)

“Ahsanahu”, yang paling baik daripadanya, pengertiannya adalah: yang paling cocok untuk sesuatu waktu, tempat dan keadaan, karena firman-firman Allah semuanya sama indahnya. Bedanya hanyalah pada keindahan itu menurut keadaan.

Yang dimaksud adalah yang cocok dengan keadaan masyarakat yang sudah berkembang itu.

Salah satu faedah menasakhkan ayat atau hukum dengan yang lainnya ialah menguji dan membedakan orang yang tidak menurut perintah dari orang-orang yang menurut, membedakan orang yang jahat dari orang yang baik, seperti ternyata dari urusan pemindahan qiblat.

Firman Allah:

Dan Kami tidak menjadikan qiblat yang diperintah Allah agar kamu menghadap ke arahnya kecuali untuk mengetahui siapa saja yang menurut Rasul dan siapa saja yang berbalik arah.” (QS. Al-Baqoroh:143)

Pengertian “MENGETAHUI” di sini adalah MEMBEDAKAN”

Firman Allah pula:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab ini kepadamu dengan kebenaran, agar kamu mengadili antara orang-orang sebagaimana yang diperlihatkan Allah kepadamu.” (QS. An-Nisa:105)

Maksudnya ialah: dengan cara yang kamu pandang paling cocok dengan kebenaran, paling sesuai dengan keadaan masyarakat, baik menguntungkan maupun merugikan seseorang.

Pada permulaan Islam, Allah mewajibkan bahwa tiap-tiap dupuluh orang mukmin harus tetap dan tidak boleh mundur bila menghadapi duaratus orang musuh dan wajib musuh itu diperangi hingga kalah. Mereka tidak boleh mundur, kecuali sebagai siasat peperangan atau untuk menyatukan barisan kembali.

Firman Allah:

Hai Nabi! Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin untuk berperang! Jika ada duapuluh orang yang berhati sabar di antara-mu, niscaya dapatlah mereka mengalahkan duaratus orang. Kalau ada seratus orang yang tabah di antaramu, niscaya dapatlah mereka mengalahkan seribu orang kafir, karena mereka itu adalah golongan yang tidak mengerti.” (QS. Al-Anfal:65)

Salah satu di antara keterangan-keterangan yang menetapkan perlunya ijtihad ialah Hadits Ma’az, tatkala Rasulullah hendak mengutus ia ke Yaman. Rasulullah bertanya kepadanya:

“Dengan apakah kamu menetapkan hukum sesuatu masalah yang dihadapkan kepadamu?”

Jawabnya: “Saya tetapkan menurut yang terdapat dalam Kitabullah”.

“Dan kalau tidak kamu dapatkan dalam Kitabullah?”

“Maka dengan sunnah Rasulullah”

“Dan jika tidak juga kamu dapatkan?”

“Saya akan berijtihad menurut pendapat saya, sebisa-bisa saya.”

Maka Rasulullah lalu menepuk-nepuk dadanya sambil bersabda: “Syukur kepada Allah yang telah member petunjuk kepada utusan dari Utusan Allah ke jalan yang diridhai Allah.”

Adapun di dalam masalah-masalah aqaid dan ibadah tidaklah dibenarkan dilakukan ijtihad. Semua itu wajib dilaksanakan dengan tidak di tambah, tidak di kurangi dan tidak pula dirobah-robah seperti yang telah jelas ditetapkan hukumnya.

Untuk inilah serta lain-lain hukum yang terbatas, maka Allah berfirman:

Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang mengada-ada dalam agama yang tidak diperkenankan Allah.” (QS.Asyuro:21)

Mengenai hal itu pula yang di maksud oleh Hadits ini:

Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah, dan tiap-tiap bid’ah itu sesat.”

Demikianlah keterangan serba ringkas yang perlu saya bentangkan. Dan Allah lah yang member taufiiq

www.al-irsyad.or.id

AHMAD MUHAMMAD SURKATI

  1. No trackbacks yet.

Leave a comment